Senin, 12 Desember 2016

Ruang Televisi dan Hidup Kaya Tanpa Korupsi

www.mediaindonesia.com
Di layar kaca, seorang host program talkshow di salah satu stasiun televisi tengah berbincang dengan seorang advokat. Perbincangan menjurus panas saat sang host mencoba memancing si pengacara dan sedikit menyudutkan klien yang dibelanya. Acara akhirnya harus berlangsung dengan tensi tinggi hingga akhir.

Program ini - yang saya tonton sekitar setahun yang lalu - membahas tentang kasus korupsi yang melibatkan seorang petinggi partai politik ketika itu. Kasus ini sempat hangat dan heboh di media.

Begitulah gambaran keseharian kita. Berbagai pemberitaan tentang kasus korupsi senantiasa mewarnai layar kaca. Televisi memang cukup massif dalam memberitakan perkara rasuah ini. 

Konsep programnya macam-macam. Mulai dari news, feature, hingga talkshow. Ruang-ruang keluarga Indonesia yang nyaman diserbu oleh tayangan korupsi di televisi. Slot yang disediakan televisi untuk tayangan-tayangan itu juga terbilang tinggi.

Beda TV maka beda pula cara mereka mem-framming isunya. Beda kepentingan, maka beda pula cara mereka mengonstruksi pemberitaannya.

The Founding Fathers House (FHH) menyebut, kasus suap dan korupsi paling sering muncul di media massa nasional dibanding isu-isu lain dalam satu tahun terakhir. Tujuh dari 10 berita yang berfrekuensi tinggi adalah tentang korupsi.

Bisa dibayangkan, bagaimana pemberitaan korupsi menginvasi ruang-ruang keluarga yang nyaman. Ditonton oleh anggota keluarga, mulai suami, istri, hingga anak.

Lantas, apa dampak yang dihasilkan dari pemberitaan ini? Semakin sadarkah khalayak akan perilaku korupsi? Bisakah kasus korupsi ditekan?

Pastinya, harus dilihat lagi pemberitaan seperti apa yang mendominasi. Berita-berita yang bersifat mendidik tentang bahaya korupsi sedikit banyak akan masuk ke kepala penonton. Sedikit banyak juga akan mengeleminir keinginan untuk korupsi. Tapi, mesti digaris bawahi, hanya dari satu sisi; Tayangan.

Nyatanya, berita korupsi masih didominasi soal perkara, pejabat yang terkena operasi tangkap tangan, kepala daerah yang kena suap, dan sebagainya. Sedikit sekali porsi acara yang mengangkat korupsi dari sisi pencegahan. Menampilkan edukasi tentang korupsi secara kreatif dan menghibur, yang mungkin saja lebih mudah diterima khalayak.

Dan lucunya, televisi malah berasyik-masyuk mengangkat sisi-sisi sensasional dalam tayangan tentang korupsi. Dari pada membuat sebuah tayangan yang berkualitas. Bagi televisi, semuanya tentu dilakukan atas pertimbangan rating.

Pengaruh Televisi dalam Ruang Keluarga

Televisi adalah media yang tergolong unik dalam sejarah penemuan media saat ini. Komunikasi yang memadukan dua unsur audio dan visual membuat media ini lebih mudah dinikmati dibandingkan media lainnya. Anak-anak misalnya, akan lebih mudah meniru apa yang dilihatnya di TV.

Keunikan televisi ini yang akan membuat masyarakat mudah terpengaruh terhadap isi tayangan. Televisi, sebagai bagian komunikasi massa, akan memunculkan dua pengaruh; positif dan negatif.

Begitupun tayangan perkara korupsi di televisi. Dua pengaruh ini bisa muncul secara bersamaan. Pengaruh positifnya, penonton sadar tentang bahayanya melakukan korupsi. Bisa berurusan dengan polisi, KPK, maupun kejaksaan. Bisa masuk bui, kehilangan teman, keluarga, hingga jabatan.

Pengaruh negatifnya, ya, terkait karakter televisi yang mudah ditiru tadi. Orang, tidak hanya meniru hal baik yang dilihatnya di TV. Hal-hal buruk pun sangat rentan untuk ditiru. Misalnya, yang terkait dengan modus operandi.

Tentu tidak boleh bila kita dalam posisi membiarkan televisi melakukan komunikasi satu arah. Memposisikan khalayak hanya dalam posisi menerima. Tayangan televisi tentang korupsi bisa berperan sebagai penyadaran, namun perlu nilai tambah untuk pemahaman.
 
www.bangfauzi.com
Mencegah Korupsi dari Diri Sendiri dan Keluarga

Ketika televisi semakin gencar bicara korupsi hingga menyentuh ruang privat, ruang nyaman kita dalam keluarga, maka perlu dilakukan upaya edukasi di lingkungan keluarga tersebut. Caranya memberikan pemahaman, pendidikan, dan pengetahuan tentang korupsi. Selanjutnya melakukan langkah nyata pencegahan dini di lingkungan keluarga.

Mengapa keluarga? Sebab, keluarga merupakan lingkup terkecil dari organisasi sosial. Upaya-upaya bisa dilakukan secara sederhana, misalnya tidak perlu mengeluarkan cost yang tinggi. Sebab, pendekatannya interpersonal dan kekeluargaan.

Selain itu, lingkungan keluarga memungkinkan pendidikan anti korupsi dan pengajaran nilai-nilai diberikan lebih dini. Supaya generasi kita tidak tumbuh menjadi generasi yang permisif terhadap perilaku koruptif. Soalnya, urgensi dari korupsi bukanlah penindakan, tapi pencegahan. Nah, keluarga sebagai lingkup terkecil bisa menjadi starting point-nya.

Ingat, korupsi bukan hanya soal jumlah uang yang besar, melibatkan pejabat-pejabat tinggi, hingga merampas uang negara. Kata mantan pimpinan KPK Bambang Widjojanto, tidak menepati janji pun bisa dikatakan sebagai korupsi.
  
Dalam peringatan Hari Anti Korupsi di Provinsi Riau, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menyampaikan, bahwa semakin hari pelaku korupsi rentang usianya semakin muda. Ini mengisyaratkan, bahwa langkah-langkah pencegahan korupsi memang harus dilakukan sejak dini.

Hidup Kaya Tanpa Korupsi

Sebagai orang biasa, tentu tak mudah bagi saya menyuarakan pencegahan korupsi dalam skala lebih luas. Namun, mencegah diri sendiri dan keluarga agar tidak berperilaku koruptif tentu sangat mungkin dilakukan.

Nah, berikut upaya yang saya lakukan untuk mencegah diri saya dan keluarga terlibat dalam urusan korupsi:

Pertama, menerapkan pola hidup sederhana. Hidup sederhana adalah menjalani hidup secara bersahaja, tidak bermewah-mewahan, memiliki jiwa sosial dan kepedulian yang tinggi. Hidup mewah ini adalah hidup berlebih-lebihan. Misalnya, punya mobil tiga, padahal cuma butuh satu.

Hal ini penting supaya kita mampu menyesuaikan antara pendapatan dan pengeluaran. Hidup boros dan bermewah-mewah bisa memancing budaya korupsi dalam keluarga. Contohnya, ketika istri atau anggota keluarga lainnya hidup bermewah-mewah dan tidak wajar, membuat si suami berusaha mati-matian memenuhi tuntutan istrinya. Akhirnya suami menghalalkan segala cara. Ujungnya, terjebak dalam kasus korupsi. Hal seperti ini paling jamak ditemui dalam berbagai kasus korupsi.

Kedua, manajerial dan tata kelola keuangan yang baik. Keluarga adalah perusahaan dalam skala kecil. Segala sesuatunya harus berawal dari perencanaan dan tata kelola yang baik. Tekad saja tidaklah cukup untuk menerapkan pola hidup sederhana.

Manajerial dan tata kelola keuangan yang saya lakukan meliputi, pengaturan pengeluaran, mengoptimalkan pendapatan, membedakan antara kebutuhan dan keinginan, pendidikan anak, hobi, hingga pembagian tugas.

Sistem manajerial dan tata kelola keuangan ini harus dilakukan sebaik mungkin. Agar pola hidup sederhana dan apa adanya bisa diimplementasikan secara baik.

Ketiga, pendidikan karakter dan keteladanan. Bila orang tua sudah mengajarkan nilai-nilai kejujuran, kebaikan, dan keteladanan pada anak sejak dini, maka setelah beran
jak dewasa nilai-nilai tersebut akan terus terpatri pada anak.

Di sinilah, andil keluarga sangat penting dalam pembentukan karakter seorang anak/generasi yang anti korupsi.

Keempat, Transparansi. ‘’Jangan ada dusta di antara kita’’. Ini menjadi kalimat penting dalam membangun transparansi di dalam ruang keluarga. Segala hal yang berkaitan dengan pengelolaan rumah tangga harus dikomunikasikan secara transparan.

Transparansi, sesungguhnya tidak hanya berlaku dalam tata kelola pemerintahan saja. Keluarga yang baik, yang punya budaya kuat dan tangguh, juga butuh transparansi.

Nah, empat sikap ini bila diaplikasikan secara baik, akan membawa kebaikan dan tetap bisa menjalani ‘’hidup kaya, meski tanpa korupsi’’.

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Hari Anti Korupsi Internasional yang diselenggarakan KPK dan Blogger Bertuah Pekanbaru






Tidak ada komentar:

Posting Komentar