Kamis, 08 Desember 2016

Bajai, Moda Transportasi yang Mulai Tersisihkan


Suara mesin Bajai Supangat (56) memecah keheningan. Dari rumahnya, dia menyusuri jalanan Pekanbaru menuju Pasar Bawah di ujung Jalan Ahmad Yani. Supangat membawa satu-satunya Bajai miliknya yang masih tersisa. Seakan berkejaran dengan matahari yang mulai naik, Supangat mengejar para pelanggan Bajai-nya di kawasan pasar wisata ini.
Sehabis menunaikan sholat subuh, Supangat mulai memanaskan mesin Bajai miliknya, bersiap-siap meluncurkan kendaraan roda tiga ini kejalanan. Sudah 34 tahun lamanya dia menghabiskan waktu menjadi penarik Bajai.
Pada masa jayanya, dia memiliki Bajai hingga 6 unit. Delapan anaknya pun berhasil duduk dibangku sekolah berkat Bajai. Sekarang, Bajai yang tersisa tinggal satu unit saja. Subuh hingga ke malam Supangat mengitari kota Pekanbaru bersama Bajai tersebut.
Menelusuri jalanan ibukota yang masih sepi di subuh hari, dia mengarahkan Bajai-nya menuju Pasar bawah. Di sana, bersama beberapa penarik Bajai lainnya Supangat menanti penumpang.
Pepatah ‘’bangun siang rejeki dipatok ayam’’ ada benarnya bagi penarik Bajai ini. Sebab, pengguna Bajai saat ini tinggallah para ibu-ibu yang berbelanja harian di pagi hari di Pasar Bawah.
Supangat dan penarik Bajai lainnya harus pintar-pintar menarik hati calon penumpang. Berbagai ‘pelayanan tambahan’ mereka tawarkan.Termasuk memanggul belanjaan para penumpang mereka.
Selama ini, Supangat sudah memiliki beberapa penumpang langganan. Saat dia melihat penumpang langganannya keluar pasar dengan berbagai jinjingan, dengan sigap Supangat langsung menyongsong dan membawakan belanjaan tersebut.
“Ya, kita mesti punya strategi,mbak.Biar penumpangnya balik lagi pakai Bajai kita,” ujar Supangatramah.
Tawar-menawar harga menjadi salah satu seni naik Bajai. Supir Bajai dan calon penumpang akan melakukan proses tawar-menawar sebelum naik Bajai. Ketika kesepakatan harga telah dicapai, barulah penumpang masuk dan supir menghidupkan mesin Bajai-nya.
Bajai-bajai ini melayani rute dalam kota Pekanbaru. Untuk sekali jalan dalam jarak dekat, biasanya harga dipatok antara Rp 15-20 ribu. Tergantung seberapa mahir Anda melakukan tawar menawar.
Sedangkan untuk daerah yang lebih jauh, tarif yang diletakkan akan lebih tinggi.
Penasaran dengan bagaimana rasanya menaiki Bajai di jalanan Pekanbaru, sayapun mencobanya. Mengambil rute Jalan Teuku Umar menuju Pasar Bawah, saya melakukan proses tawar-menawar terlebih dahulu. Setelah deal, si supirpun membukakan pintu Bajai untuk saya.
Bunyi mesin Bajai yang khas langsung menyerbu telinga ketika mesin baru dinyalakan. Bajai kami mulai berjalan melewati gang-gang kecil di Jalan Teuku Umar.
Untuk sesaat saya tidak mengenal jalan yang kami lalui, hingga akhirnya kami keluar di Jalan Sudirman, tak berapa jauh dari Pasar Bawah.
Tak sampai 15 menit, kami sudah sampai di Pasar Bawah tanpa terkena macet sedikitpun. Padahal saat itu adalah jamnya para orang kantoran memadati jalan.
Ternyata, selain harga yang bersahabat dengan kapasitas 2-3 orang penumpang, Bajai juga terkenal dengan keahliannya menyelip di antara gang-gang kecil.
Untuk mencapai alamat yang dituju, para supir Bajai mengandalkan ‘jalan tikus’ untuk menghindari macet dan menghemat waktu.
Tergerus Modernisasi
Saat ini, Bajai yang sudah ada di Riau sejak tahun 1982 silam ini mulai terlupakan oleh masyarakat. Tak banyak lagi yang mau menggunakan jasa angkutan satu ini.Bahkan anak-anak muda banyak yang tidak tahu adaBajai di Pekanbaru.
Hadirnya angkutan umum yang lebih modern dan murah membuat penumpang memilih untuk beralih. Belum lagi, masyarakat kota ini juga banyak yang memilih menggunakan kendaraan pribadi. Hal ini tentunya sangat berdampak terhadap eksistensi Bajai.
Hingga saat ini, Bajai yang beroperasi hanya tersisa sekitar 20an unit dari total 74 unit.
Bubarnya persatuan Bajai di Riau dan tidak adanya pembaharuan armada semakin memperburuk keadaan Bajai di Riau. Angka ini bisa jadi akan terus berkurang, bahkan menghilang.
Untuk saat ini, para penarik Bajai hanya bisa mengumpulkan uang sekitar Rp 150 ribu sehari.
“Paling kenceng dapatnya Rp 150 ribu sehari, mbak.Itu pun kalau berangkatnya pagi-pagi ngejar ibu-ibu (keturunan) Cina selesai belanja. Kalau mangkalnya agak siang, ya calon penumpangnya udah sepi,” Ungkap aku Supangat. 
Supangat mengatakan, penumpang yang masih sering menggunakan Bajai adalah perempuan-perempuandari etnis Tionghoa yang berbelanja kebutuhan dapur di Pasar Bawah. Mereka berbelanja pagi-pagi, untuk kebutuhan memasak.
“Kalo gak ada (ibu-ibu) Cina, gak bakal ada yang naik bajai,” pungkasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar