Tahun 1980-an tanaman sagu mulai menggeliat di Desa Sungai Tohor, Tebing Tinggi Timur, Kepulauan Meranti, Riau. Namun, jauh sebelum itu, saat Indonesia belum memproklamirkan kemerdekannya, masyarakat Sungai Tohor sudah mengenal sagu.
Di masa itu, masyarakat Sungai Tohor menjadikan sagu sebagai makanan pokok. Sejak tokoh-tokoh desa menggalakkan menanam sagu ketika itu, sekarang hampir 98 persen masyarakat Sungai Tohor menggantungkan hidup dari sagu.
Dulu, cuma ada 5 kilang sagu di desa yang bisa ditempuh selama 45 menit dari Selat Panjang tersebut.
Saat ini, sudah ada 14 kilang berdiri di sana. Dari kilang-kilang itu, bisa menghasilkan sagu sebanyak 400-600 ton per bulan. Jika dirupiahkan, bisa mencapai 740 juta sampai 1,1 miliar per bulan.
Sebelum tahun 1980-an, sagu seakan tak punya harga di sana. Perkilo cuma dihargai 25 hingga 40 rupiah. Baru setelah era reformasi, harga sagu perlahan merangkak naik. Sekitar 125 hingga 300 rupiah per kilogram. Saat ini, sagu basah dihargai 1.850 rupiah per kilogramnya.
Tokoh masyarakat Sungai Tohor Abdul Manan menceritakan, pada 1980-an itu masyarakat sudah bertani sagu. Namun, masih menggunakan sistem ijon.
Melalui sistem ini, petani meminjam uang terlebih dahulu kepada toke sagu dengan menjaminkan pokok-pokok sagu yang masih muda milik masyarakat. Dengan kata lain, sagu yang masih muda milik masyarakat yang belum dipanen, sudah dijual terlebih dahulu.
Sistem ijon tersebut sangat merugikan masyarakat. Sebab, batang sagu dijualsebelum layak jual. Melihat kerugian yang besar akibat sistem ini, salah seorang tokoh masyarakat mencoba untuk memutus rantai ijon pada tahun 1989.
Caranya, dengan mendirikan kilang-kilang sagu tradisional milik masyarakat. Terutama, setelah mendapat bantuan dari presiden berupa mesin sagu yang dimodifikasi seperti kilang-kilang sagu yang ada pada saat ini.
Masyarakat Sungai Tohor sangat antusias dengan pertanian sagu, “Mulai dari nenek moyang kami, bahwasannya kami telah menjagakan gambut dengan kearifan lokal, tidak pernah terjadi kebakaran pada zaman dulu,” sebut Abdul Manan.
Meskipun pada zaman dahulumasyarakat membuka lahan dengan cara membakar, tapi gambut tidak pernah dalam kondisi kering. Pada tahun 1990-an masyarakat mencoba merubah sistem pertanian mereka,
“Tidak menggunakan sistem bakar lahan untuk menanam sagu, hanya dengan membersihkan 5 meter dilahan pertanian, dan tetap mempertahankan kayu alam,’’ kata Abdul Manan melanjutkan.
Sekarang, masyarakat Sungai Tohor sangat antusias dengan pemulihan gambut. Pasalnya, pada 2014 pernah terjadi kebakaran hebat di Sungai Tohor.
“Kebakaran itu disebabkan kanalisasi oleh salah satu perusahaan pada tahun 2009.Masyarakat sangat menolak kehadiran perusahaan tersebut,’’ jelas Abdul Manan kepada tripriau.com saat berkunjung ke Sungai Tohor beberapa waktu lalu.
Masyarakat menduga, bahwa kebakaran di Sungai Tohor akibat kanalisasi “Intinya gambut itu tidak boleh dibuka dengan kanalisasi, apabila terjadi kanalisasi kebakaran tidak dapat dielakkan, karena gambut menjadi kering,’’ tambahnya.
Dia menambahkan, apabila sagu subur, lahan gambut tidak akan terbakar. Sebab, sagu adalah aset terbesar masyarakat. ‘’Jika terjadi kebakaran,maka ekonomi masyarakat Sungai Tohor akan lumpuh total,’’ sebutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar