www.mediaindonesia.com |
Di layar
kaca, seorang host program talkshow
di salah satu stasiun televisi tengah berbincang dengan seorang advokat. Perbincangan
menjurus panas saat sang host mencoba
memancing si pengacara dan sedikit menyudutkan klien yang dibelanya. Acara
akhirnya harus berlangsung dengan tensi tinggi hingga akhir.
Program ini
- yang saya tonton sekitar setahun yang lalu - membahas tentang kasus korupsi
yang melibatkan seorang petinggi partai politik ketika itu. Kasus ini sempat
hangat dan heboh di media.
Begitulah gambaran
keseharian kita. Berbagai pemberitaan tentang kasus korupsi senantiasa mewarnai
layar kaca. Televisi memang cukup massif dalam memberitakan perkara rasuah ini.
Konsep programnya macam-macam. Mulai dari news, feature, hingga talkshow. Ruang-ruang keluarga Indonesia yang nyaman diserbu oleh tayangan korupsi di televisi. Slot yang disediakan televisi untuk tayangan-tayangan itu juga terbilang tinggi.
Konsep programnya macam-macam. Mulai dari news, feature, hingga talkshow. Ruang-ruang keluarga Indonesia yang nyaman diserbu oleh tayangan korupsi di televisi. Slot yang disediakan televisi untuk tayangan-tayangan itu juga terbilang tinggi.
Beda TV maka
beda pula cara mereka mem-framming
isunya. Beda kepentingan, maka beda pula cara mereka mengonstruksi
pemberitaannya.
The Founding
Fathers House (FHH) menyebut, kasus suap dan korupsi paling sering muncul di
media massa nasional dibanding isu-isu lain dalam satu tahun terakhir. Tujuh
dari 10 berita yang berfrekuensi tinggi adalah tentang korupsi.
Bisa
dibayangkan, bagaimana pemberitaan korupsi menginvasi ruang-ruang keluarga yang
nyaman. Ditonton oleh anggota keluarga, mulai suami, istri, hingga anak.
Lantas, apa
dampak yang dihasilkan dari pemberitaan ini? Semakin sadarkah khalayak akan
perilaku korupsi? Bisakah kasus korupsi ditekan?
Pastinya,
harus dilihat lagi pemberitaan seperti apa yang mendominasi. Berita-berita yang
bersifat mendidik tentang bahaya korupsi sedikit banyak akan masuk ke
kepala penonton. Sedikit banyak juga akan mengeleminir keinginan untuk korupsi.
Tapi, mesti digaris bawahi, hanya dari satu sisi; Tayangan.
Nyatanya, berita
korupsi masih didominasi soal perkara, pejabat yang terkena operasi tangkap
tangan, kepala daerah yang kena suap, dan sebagainya. Sedikit sekali porsi acara yang mengangkat
korupsi dari sisi pencegahan. Menampilkan edukasi tentang korupsi secara
kreatif dan menghibur, yang mungkin saja lebih mudah diterima khalayak.
Dan lucunya,
televisi malah berasyik-masyuk mengangkat sisi-sisi sensasional dalam tayangan
tentang korupsi. Dari pada membuat sebuah tayangan yang berkualitas. Bagi televisi, semuanya tentu dilakukan atas pertimbangan rating.
Pengaruh Televisi dalam Ruang
Keluarga
Televisi
adalah media yang tergolong unik dalam sejarah penemuan media saat ini.
Komunikasi yang memadukan dua unsur audio dan visual membuat media ini lebih
mudah dinikmati dibandingkan media lainnya. Anak-anak misalnya, akan lebih
mudah meniru apa yang dilihatnya di TV.
Keunikan
televisi ini yang akan membuat masyarakat mudah terpengaruh terhadap isi
tayangan. Televisi, sebagai bagian komunikasi massa, akan memunculkan dua
pengaruh; positif dan negatif.
Begitupun
tayangan perkara korupsi di televisi. Dua pengaruh ini bisa muncul secara
bersamaan. Pengaruh positifnya, penonton sadar tentang bahayanya melakukan
korupsi. Bisa berurusan dengan polisi, KPK, maupun kejaksaan. Bisa masuk bui,
kehilangan teman, keluarga, hingga jabatan.
Pengaruh
negatifnya, ya, terkait karakter televisi yang mudah ditiru tadi. Orang, tidak
hanya meniru hal baik yang dilihatnya di TV. Hal-hal buruk pun sangat rentan
untuk ditiru. Misalnya, yang terkait dengan modus operandi.
Tentu tidak
boleh bila kita dalam posisi membiarkan televisi melakukan komunikasi satu
arah. Memposisikan khalayak hanya dalam posisi menerima. Tayangan televisi
tentang korupsi bisa berperan sebagai penyadaran, namun perlu nilai tambah
untuk pemahaman.
Mencegah Korupsi dari Diri Sendiri
dan Keluarga
Ketika
televisi semakin gencar bicara korupsi hingga menyentuh ruang privat, ruang
nyaman kita dalam keluarga, maka perlu dilakukan upaya edukasi di lingkungan
keluarga tersebut. Caranya memberikan pemahaman, pendidikan, dan pengetahuan
tentang korupsi. Selanjutnya melakukan langkah nyata pencegahan dini di
lingkungan keluarga.
Mengapa
keluarga? Sebab, keluarga merupakan lingkup terkecil dari organisasi sosial.
Upaya-upaya bisa dilakukan secara sederhana, misalnya tidak perlu mengeluarkan cost yang tinggi. Sebab, pendekatannya
interpersonal dan kekeluargaan.
Selain itu,
lingkungan keluarga memungkinkan pendidikan anti korupsi dan pengajaran
nilai-nilai diberikan lebih dini. Supaya generasi kita tidak tumbuh menjadi
generasi yang permisif terhadap perilaku koruptif. Soalnya, urgensi dari
korupsi bukanlah penindakan, tapi pencegahan. Nah, keluarga sebagai lingkup
terkecil bisa menjadi starting point-nya.
Ingat,
korupsi bukan hanya soal jumlah uang yang besar, melibatkan pejabat-pejabat tinggi, hingga
merampas uang negara. Kata mantan pimpinan KPK Bambang Widjojanto, tidak
menepati janji pun bisa dikatakan sebagai korupsi.
Dalam
peringatan Hari Anti Korupsi di Provinsi Riau, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang
menyampaikan, bahwa semakin hari pelaku korupsi rentang usianya semakin muda. Ini
mengisyaratkan, bahwa langkah-langkah pencegahan korupsi memang harus dilakukan
sejak dini.
Hidup Kaya Tanpa Korupsi
Sebagai
orang biasa, tentu tak mudah bagi saya menyuarakan pencegahan korupsi dalam
skala lebih luas. Namun, mencegah diri sendiri dan keluarga agar tidak
berperilaku koruptif tentu sangat mungkin dilakukan.
Nah, berikut
upaya yang saya lakukan untuk mencegah diri saya dan keluarga terlibat dalam
urusan korupsi:
Pertama, menerapkan pola hidup sederhana.
Hidup sederhana adalah menjalani hidup secara bersahaja, tidak bermewah-mewahan,
memiliki jiwa sosial dan kepedulian yang tinggi. Hidup mewah ini adalah hidup
berlebih-lebihan. Misalnya, punya mobil tiga, padahal cuma butuh satu.
Hal ini
penting supaya kita mampu menyesuaikan antara pendapatan dan pengeluaran. Hidup
boros dan bermewah-mewah bisa memancing budaya korupsi dalam keluarga. Contohnya,
ketika istri atau anggota keluarga lainnya hidup bermewah-mewah dan tidak
wajar, membuat si suami berusaha mati-matian memenuhi tuntutan istrinya.
Akhirnya suami menghalalkan segala cara. Ujungnya, terjebak dalam kasus
korupsi. Hal seperti ini paling jamak ditemui dalam berbagai kasus korupsi.
Kedua, manajerial dan tata kelola keuangan
yang baik. Keluarga adalah perusahaan dalam skala kecil. Segala sesuatunya
harus berawal dari perencanaan dan tata kelola yang baik. Tekad saja tidaklah
cukup untuk menerapkan pola hidup sederhana.
Manajerial
dan tata kelola keuangan yang saya lakukan meliputi, pengaturan pengeluaran,
mengoptimalkan pendapatan, membedakan antara kebutuhan dan keinginan,
pendidikan anak, hobi, hingga pembagian tugas.
Sistem
manajerial dan tata kelola keuangan ini harus dilakukan sebaik mungkin. Agar pola
hidup sederhana dan apa adanya bisa diimplementasikan secara baik.
Ketiga, pendidikan karakter dan keteladanan.
Bila orang tua sudah mengajarkan nilai-nilai kejujuran, kebaikan, dan
keteladanan pada anak sejak dini, maka setelah beran
jak dewasa
nilai-nilai tersebut akan terus terpatri pada anak.
Di sinilah,
andil keluarga sangat penting dalam pembentukan karakter seorang anak/generasi
yang anti korupsi.
Keempat, Transparansi. ‘’Jangan ada dusta di
antara kita’’. Ini menjadi kalimat penting dalam membangun transparansi di
dalam ruang keluarga. Segala hal yang berkaitan dengan pengelolaan rumah tangga
harus dikomunikasikan secara transparan.
Transparansi,
sesungguhnya tidak hanya berlaku dalam tata kelola pemerintahan saja. Keluarga yang
baik, yang punya budaya kuat dan tangguh, juga butuh transparansi.
Nah, empat sikap ini bila diaplikasikan secara baik, akan membawa kebaikan dan tetap bisa menjalani ‘’hidup kaya, meski tanpa korupsi’’.
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Hari Anti
Korupsi Internasional yang diselenggarakan KPK dan Blogger Bertuah Pekanbaru