Roberto Rigyaldo Fautnine (16), anak seorang sopir taksi di Bali rela jauh-jauh ke Pekanbaru demi merajut asa menjadi pesepakbola sukses. Foto: Abdul Ronny / tripriau.com |
Pekanbaru,
tripriau.com – Menjadi pesepakbola sukses merupakan impian Roberto Rigyaldo
Fautnine (16) sejak mengenal si kulit bundar. Demi impian itu pula, dia rela
terbang jauh dari Bali – tempat tinggalnya – ke Pekanbaru untuk bergabung
dengan Tiga Naga Football Academy.
Rigy, sapaannya,
merupakan pemain muda yang berbakat. Dia mulai belajar menendang bola saat
masih duduk di bangku sekolah dasar. Selanjutnya, dia bergabung bersama akademi
sepakbola yang ada di Bali. Memulai impiannya menjadi pesepakbola sukses dan
bermain di tim luar negeri.
Orang tuanya,
pasangan Alfridus Tefa dan Maria Sali, berasal dari Mamsena, Kefamenan, Nusa Tenggara
Timur. Mereka kemudian merantau ke Bali pada tahun 1997.
Ayahnya,
sehari-hari bekerja sebagai sopir taksi di kawasan Kuta, Bali. Sementara
ibunya, bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
Di Bali, bersama
seorang adiknya lagi mereka menyewa sebuah kamar kost. Lahir sebagai anak dari
keluarga yang kurang mampu inilah, melahirkan sebuah tekad kuat bagi Rigy untuk
menjadi pesepakbola sukses.
Suatu hari,
pelatihnya di akademi sepakbola di kampungnya memberitahu ada proses seleksi
masuk Tiga Naga Football Academy yang berbasis di Pekanbaru. Seleksinya digelar
di Kota Malang, Jawa Timur.
Rigy pun
memutuskan untuk mengikuti seleksi. Butuh perjuangan berat baginya untuk ikut
seleksi ini. Dari tempat tinggalnya di Kuta, Bali dia mesti menempuh perjalanan
jauh ke kota Malang.
Dari Bali dia mesti
menumpang bus seorang diri. Sang ayah, membekalinya dengan uang Rp 500 ribu
untuk biaya transportasi dan makan selama mengikuti seleksi. Berangkat malam
dari Bali dia sampai pada pagi harinya di Malang.
‘’Kalau
penginapan itu gak bayar. Karena di
lapangan ada tempat nginap,’’ katanya
saat diwawancarai tripriau.com,
Selasa (1/3) kemarin.
Saat proses
seleksi pun, pemain yang berposisi sebagai centre
back ini mesti menyisihkan 250 orang peserta, yang berasal dari Jawa dan
Bali. Perjuangan yang tidak ringan bagi Rigy.
Namun,
keberuntungan memayunginya. Berkat skill yang dimilikinya, Rigy terpilih dalam
11 pemain yang lolos ke Pekanbaru dan berhak menjalani pendidikan di akademi.
‘’Gak nyangka juga bisa lolos. Persaingan
ketat. Yang dinilai itu mulai dari passing,
juggling, shooting, long pass,’’
kata pemain bertinggi badan 175,5 sentimeter ini.
Masih berusia
belasan tahun, namun mesti meninggalkan keluarga dengan jarak ribuan kilometer
menjadi pengorbanan tersendiri bagi Rigy dalam menggapai cita-citanya. Bahkan
dia mengaku, belum pernah mendengar nama Pekanbaru sebelumnya.
Jelang berangkat
ke Pekanbaru, dia dan orang tuanya sempat saling menangis. ‘’Orang tua cuma
berpesan, yang baik di sana. Rajin dan tekun belajar,’’ kata pengagum mantan
bek timnas Spanyol Carlos Puyol ini.
Tapi dia senang,
karena beban kedua orang tuanya sudah berkurang. Sebab, di Tiga Naga Football
Academy semua biaya mulai dari latihan, tempat tinggal, makan, hingga
pendidikan ditanggung seluruhnya.
Kini, sudah
lebih dari sebulan Rigy menuntut ilmu di Tiga Naga Football Academy. Dia
mengaku betah di Pekanbaru.
Hari demi hari,
dilaluinya dengan melakukan aktivitas rutin. Berlatih bola dan melanjutkan
pendidikan di SMA Olahraga di Rumbai. Sesekali, bila libur latihan, dia dan
teman-teman akademinya melakukan refreshing. Mulai dari berenang, jalan-jalan
ke mall, hingga datang ke area Car Free Day tiap minggu pagi.
Misi Sosial Tiga Naga Football Academy
Mendidik
anak-anak muda menjadi pesepakbola handal menjadi salah satu misi sosial yang
tengah dijalankan Tiga Naga Football Academy yang berlokasi di Jalan Kutilang
Sakti, Panam, Pekanbaru.
Akademi
ini tidak menarik biaya apapun untuk bakat-bakat muda yang dilatih di sini.
Semua ditanggung akademi. Mulai dari pendidikan, makan, nutrisi, hingga
kesehatan.
‘’Kita gak tarik biaya. Dengan syarat per 6 bulan
kita review performanya. Kalau gak bagus, gak kita lanjutkan. Dikembalikan ke orang
tua,’’ jelas Ardiansyah, CEO Tiga Naga Football Academy.
Ardiansyah
menyebut, kebanyakan talenta-talenta yang ada berasal dari ekonomi menengah ke
bawah.
‘’Mana
tau nih, mereka jadi pemain bola beneran.
Dan dengan main bola inilah dia bisa merubah hidup keluarganya. Makanya kita free kan. Rata-rata mereka bagus. Tapi
kadang tidak tersalurkan karena tidak ada infrastruktur memadai,’’ katanya
lagi.
Makanya,
tambah Ardiansyah, selain modal infrastruktur, pihaknya juga punya jaringan
dengan beberapa klub di Asia dan Eropa.
‘’Kita
nanti salurkan di sana. Kalau dia berhasil kontrak dengan klub, klub harus
berhubungan dengan kita. Ada kompensasi dari apa yang anak sudah dapatkan.
Dalam aturan FIFA itu sudah ada,’’ jelasnya kepada tripriau.com
Penulis: Rio Sunera
Tidak ada komentar:
Posting Komentar